Media sosial telah menjelma sebagai platform yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Bahkan, akan menjadi hal yang aneh jika dalam durasi tertentu kita tidak mengakses media sosial ini. Adanya Facebook, Instagram, X dan platform lainnya mengubah pola interaksi manusia menjadi semakin dinamis dan modern. Mereka memberikan kemudahan untuk kita agar dapat berkomunikasi dengan jangkauan yang lebih luas.
Namun perkembangan teknologi kian hari kian cepat. Dalam beberapa tahun terakhir, banyak sekali dampak yang diberikan platform sosial media tersebut kepada kehidupan manusia. Mulai dari kemajuan informasi, tren dunia fashion hingga penciptaan lapangan pekerjaan. Bahkan mulai bermunculan platform-platform baru yang berusaha mengakomodir kemauan manusia sebagai user. Dari keadaan itulah, pada September 2016 Tiktok tercipta.
Sejarah Tiktok
Mengutip katadata, sebenarnya, tiktok dulu bernama Douyin. Douyin ini diciptakan software enginer bernama Zhang Yiming yang merupakan pencipta dari ByteDance. Saat Douyin akan berdiri, BytenDance telah menjelma menjadi perusahaan raksasa dari negri China yang ternyata sudah eksis sejak 2012.
Kembali pada Tiktok, mereka adalah aplikasi yang memungkinkan pengguna dapat membuat video dalam durasi 15-30 detik. Di dalamnya, para user bisa menggunakan berbagai macam efek unik dan menambahkan musik, hal ini memicu kreatifitas para user untuk melakuhkan perform dalam bentuk tarian sebagai video yang akan diposting. Bentuk video seperti itu ternyata diterima banyak orang dan melekat sebagai ciri khas tiktok sebagai media sosial yang isinya joget-joget dari para user.
Eksistensi Tiktok naik bebarengan dengan berbagai macam trend sosial media. Hingga puncaknya, pada akhir 2018 mereka berhasil mendapatkan 500 juta pengguna dan menjadikan mereka aplikasi non-game yang paling laris diunduh di Apple App Store secara global pada kuartal pertama(katadata). Kemudian hal positif itu berlanjut di tahun berikutnya dan merubah nama Tiktok sebagai media sosial terpopuler yang ramai digandrungi semua kalangan. Mulai dari masyarakat biasa hingga masyarakat umum.
Kemudian popularitasnya berlipat ganda saat pandemi covid berlangsung. Di banyak negara termasuk Indonesia, saat itu, semua orang dihimbau untuk mengurangi interaksi sosial demi memutus rantai penyebaran virus. Dengan semua orang stay di rumah dan memiliki banyak waktu luang, Tiktok mengambil peran sebagai sosial media yang menemani semua orang. Dari momentum itu, Tiktok tidak menyia-nyiakan waktu dan terus melakuhkan pengembangan baik in-app maupun non-app.
Selain mengubah banyak hal seperti tampilan design aplikasi hingga durasi maksimal video di platform, pada 17 April 2021 Tiktok menggegerkan dunia karena berhasil membuat trobosan visioner. Trobosan tersebut bernama Tiktokshop yang menambah fungsi sosial media sebagai e-commerce. Dengan inovasi itu, semua orang menganggap tiktok sebagai pioneer social commerce.
Mengenal Tiktokshop
Secara global, Tiktokshop baru bisa diakeses pada bulan September di Amerika Serikat, Inggris, Kanada, dan Indonesia. Dalam inovasi ini, Tiktok sebagai pemegang platform memiliki tujuan untuk dapat menjangkau para seller, buyer, dan para konten kreator agar terlibat dalam berbagai experience berbelanja yang mudah, fresh dan menyenangkan. Hal ini mereka upayakan lewat pengembangan fitur distribusi video pendek untuk promosi dan live shopping yang akan digunakan untuk brand dan para seller.
Sebagai awal peluncuran, demi menarik atensi masyarakat Tiktok bikin program live shopping yang berkolaborasi dengan Nagita Slavina. Disitu Mamah Gigi menjual berbagai macam produk kecantikan dan perlengkapan rumah tangga dengan gimik diskon yang ternyata meledak hingga ditonton 1,4 juta user.
Dengan konsep market yang terintegrasi langsung dengan sosial media, Tiktoksop selalu mengalami trend positif dari 3 tahun kebelakang. Menurut Pop-star yang mengutip AppAnnie, Tiktok berhasil jadi platform nomer satu yang bisa mendorong user melakuhkan kegiatan konsumsi. Di platform tersebut, pengeluaran konsumen meningkat 77% selama tahun 2021. Tambahnya, ada sekitar 67% user yang mengatakan jika Tiktok, mampu memberi mereka motivasi untuk melakuhkan transaksi.
Gambar 1 Survei belanja media sosial (social commerce) oleh Populix.
Masih mengutip laman yang sama, dari laporan survei berjudul “The Social Commerce Landscape in Indonesia” Populix, terdapat 46% responden berpikian bahwa dibanding sosial media seperti Wa, Facebook Marketing dan Instagram Shop berbelanja di Tiktokshop terasa lebih mudah dilakuhkan.
Tiktokshop, Wadah Yang Jadi Kompetitor UKM
Sebagai fitur baru, Tiktoshop berhasil membentuk simpul jaringan yang menghubungkan banyak brand dan para penjual. Dalam waktu yang singkat, fitur ini berhasil membuat ekosistem dagang yang lengkap dengan harga yang lebih bersaing dengan platform kompetitor(Instagramshop hingga Shope dan Tokopedia). Belum lagi, pihak Tiktok sebagai platform berani melakuhkan subsidi kepada para sellernya yang berdampak pada pemberian potongan harga di Tiktokshop. Gap harga ini yang meyebabkan banyak user memutuskan untuk membeli barang dari social commerce tersebut.
Tapi di sisi lain, Tiktokshop merupakan fitur yang menganut paham cross border payment. Cross border merupakan bentuk jual-beli internasional yang melibatkan konsumen dari berbagai negara. Gampangnya, ini adalah transaksi dimana penjual dan pembeli berasal dari negara yang berbeda. Transaksi berbasis online ini nihil dihindari karena didalamnya, menyediakan semua barang yang dibutuhkan manusia. Apalagi paska pandemi, semua orang terbiasa dan lebih nyaman untuk beraktifitas di kegiatan berbelanja online, hal ini kemudian menjadi tren yang bersambung hingga saat ini.
Mengambil data paparan Sirclo, saat ini, 17,5% orang Indonesia mulai berpindah ke kebiasaan belanja online dan meninggalkan belanja offline. Hal itu juga mebuat grafik peningkatan dari hanya 11%, meningkat jadi 25% pada tahun 2021. Peningkatan ini terjadi karena pada saat pandemi, menurut Data Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), ada 1.300 toko ritel tutup. Padahal ritel-ritel yang tutup adalah ritel yang dimiliki oleh mayoritas masyarakat menengah ke bawah dan para UMKM, hal ini menggambarkan melemahnya transaksi jual-beli offline yang terjadi selama masa pandemi.
Kecanggihan Tiktokshop adalah penyebab serius turunnya omset UKM dan UMKM. Kemudahan transaksi yang ditawarkan platform dilahap habis oleh para user. Belum lagi, karena berbagai subsidi harga produk di platform lebih murah. Tapi sebenarnya, masalahnya tak hanya disitu. Sistem cross border membuat produk-produk lokal berkompetisi langsung dengan barang impor. Sialnya, barang impor yang dihadirkan Tiktok tak hanya menang dikualitas, tapi juga pada harga. Keadaan ini semakin mempersulit gerak para UKM dan UMKM dalam mengambil hati pasar.
Direktur Bisnis dan Pemasaran Smesco Indonesia, Wientor Rah Mada mengamini fenomena tersebut dalam sebuah pertemuan dengan pihak Tiktok. Beliau mengutarakan bahwa terdapat sejumlah aduan dari para UMKM. Dalam aduan tersebut, mereka menuturkan tentang ketidakmampuannya meladeni persaingan harga dengan barang impor yang dijual sangat murah di Tiktokshop. Beberapa pihak UMKM juga heran karena China mampu mengekspor sweater dan beberapa produk konveksi lain dengan harga Rp.5000 – Rp. 20.000 saja. Hal ini mereka nilai sebagai kegiatan tidak masuk akal dan jauh dari hpp milik para pengusaha lokal. Statement ini mampu menggambarkan keadaan nyata bahwa pada beberapa sektor seperti konveksi, kestabilan pasar tidak terjaga karena gap antara barang impor dan produk lokal sangat jauh.
Ironinya, barang-barang murah tersebut malah datang dari negara asal platform Tiktok. Bahkan menurut tinjauan LKPP (Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang Jasa Pemerintah) ada kecurangan yang menyusupi e-katalog sistem kita. Dari penuturanya, ada sekitar 27.000 barang yang berhasil mereka takedown dari katalog. Dari 27.000 itu, 16.000 diantaranya merupakan barang impor yang diubah labelnya menjadi barang buatan negri. Padahal, LKPP dan beberapa instansi terkait telah berkomitmen untuk tidak memberi ruang bagi penjualan barang impor yang bisa dipenuhi oleh para UKM dan UMKM dalam negri.
Sebagai platform asal China, Tiktok saat ini sedang diterpa banyak masalah. Maka dari itu agar tetap bisa menjalankan fitur social commercenya, mereka terus bernegosiasi dengan banyak negara termasuk Indonesia. Negosiasi itu bahkan langsung melibatkan Mister Chew yang sekarang jadi owner dari platform tersebut. Dari negosiasi itu, mereka berjanji akan melakuhkan investasi di Indonesia pada 2 sampe 5 tahun ke depan, karena merasa Indonesia adalah calon market leader untuk tiktokshop di ASEAN. Sebenarnya, nilai taksir investasi Tiktok akan menyentuh 149 Triliun, tapi sampai saat ini hanya 180 Miliar rupiah dana yang terkirim dan sudah dibagikan langsung pada 120.000 mitra bisnis. Semua pendanaan itu mereka gunakan untuk perpindahan dari bisnis konvensional ke digital. Ditengah kabar baik itu, tercium kabar buruk yang sedang dilancarkan platform asal China itu. Mereka mengegerkan dunia dengan Project S, sebuah fitur multifungsi yang diklaim akan menggoyahkan pasar seluruh dunia.
Project S, Senjata Ekonomi Digital China.
Menilik lebih jauh, sebenarnya polemik China dengan berbagai negara memang sering terjadi. China sebagai negara manufaktur memang mempunyai stigma buruk karena dianggap sebagai negara “copycat” yang sering sekali meniru dan menjual produknya dengan harga murah. Hal ini juga sejalan dengan Mohammad Faisal, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics(CORE). Beliau menuturkan bahwa pertarungan produk dalam negri dan barang impor telah hadir sejak puluhan tahun lalu semenjak terjadi perjanjian bebas Tiongkok dengan ASEAN. Momentum ini semakin bertumbuh setelah era digital dan platform online mulai menggunakan fungsi social commerce yang memudahkan produk impor sampai langsung kepada konsumen. Maka tak heran jika banyak orang tak mempercayai Tiktok dan menganggap bahwa mereka mewakili tabiat dari negara asalnya.
Isu Project S ramai karena beberapa orang di Inggris mengetahui bahwa ada keanehan pada platform Tiktok. Fitur ini dikatakan sudah aktif sejak tanggal 21 juni 2023 dengan nama Trendy Beat. Di fitur tersebut, awalnya user tiktok Inggris bisa menemukan produk terkini seperti pengekstrak kotoran telinga dan produk penghilang bulu hewan yang rontok di pakaian yang diproduksi dari Singapura. Tapi setelah banyak user melakuhkan investigasi, ditemukan fakta bahwa produk tersebut merupakan produk yang dibuat ByteDance.
Dari hal itu seluruh dunia gempar, pasalnya ByteDance adalah perusahaan yang menaungi Tiktok. Dengan analogi ini, fitur baru tersebut akan memperkaya Tiktok karena segala sumber dana yang masuk di transaksi lewat Terndy Beat akan masuk ke rekening ByteDance. Pertanyaanya adalah bagaimana ByteDance secara singkat mampu membuat Tendy Beat sebagai fitur yang menjual barang-barang terkini di Inggris? Jawabanya adalah karena ByteDance mengambil data milik Tiktokshop.
Simpelnya, karena ByteDance adalah ayah dari Tiktok ia bisa meminta akses pada anaknya untuk memberikan seluruh data dan informasi yang dia punya, termasuk data dari transaksi Tiktokshop. Data itu kemudian dianalisis dan hasilnya akan dilanjutkan dengan produksi barang dari China, negara asal Tiktok. Karena diproduksi di China, maka pihak ByteDance mampu menekan cost produksi sehingga produk buatan mereka akan memiliki harga akhir yang murah saat siap dipasarkan. Tak berhenti disitu, Project S ini akan jadi kekuatan besar karena platform distribusinya merupakan sosial media milik mereka sendiri.
Mendengar informasi ini, banyak pihak geram termasuk UKM dan UMKM. Pasalnya sejak awal terciptanya Tiktokshop di Indonesia, pemerintah sudah mengingatkan platform tersebut untuk tidak melakuhkan kegiatan cross boarder dan membantu UKM dan UMKM kita untuk berkembang ke kancah internasional. Tapi cuma janji manis, saat ini puluhan ribu barang impor China membanjiri Tiktokshop dan berbagai e-commerce di Indonesia. Menyikapi hal itu, perwakilan Tiktok Indonesia sudah mengeluarkan klarifikasi bahwa platform tersebut tidak akan melakuhkan Project S ini dan akan berkomitmen penuh untuk perkembangan produsen lokal, tapi fakta sebaliknya datang. Saat ini, banyak produk buatan China yang muncul di timeline Tiktok para user. Kebohongan Tiktok?
Manipulasi Alogaritma, Cuan-Cuan Untuk China.
Fakta baru yang ditemukan para user adalah mulai bermunculan produk-produk buatan China saat mengakses beranda Tiktok. Padahal banyak dari mereka mengatakan bahwa tidak pernah melakuhkan pencarian terhadap produk itu maupu sejenisnya. Hal ini menghadirkan spekualasi baru terkait kelangsungan Project S di Indonesia.
Kenapa? karena Project S adalah projek yang diinisiasi Tiktok untuk dijalankan di Tiktok juga. Jadi kita sebagai user tidak akan pernah tau, kapan dan bagaimana project itu akan dijalankan. Apalagi, sebagai pemilik platform, Tiktok bebas mengatur produk mana yang akan ia naikan engagementya. Produk mana yang ingin ia hilangkan dari beranda, produk mana yang ingin ia musnahkan eksistensinya. Lalu apakah cukup alogaritma saja? sebenarnya tidak. Ada banyak faktor yang mempengaruhi user melakuhkan pembelian terhadap produk, tapi bagaimana caranya user mengetaui produk lain jika alogaritma membuat konten mereka minim viewer? Dengan analogi yang sama, bagaimana cara menjawab fenomena brand Skintific yang muncul hampir di seluruh user Tiktok Indonesia?
Gambar 2 Laman Skintific Kanada betuliskan “Copyright 2020 PT May Sun Yvan”
Fenomena Skintific bisa jadi satu acuan yang mencoba menjawab kelangsungan manipulasi alogaritma ini. Pasalnya, merek yang sempat dikira milik Indonesia itu bukan berasal dari Indonesia, melainkan Kanada. Tapi faktanya tak berhenti disitu, ketika diexplore lebih dalam akan menemukan fakta bahwa produk itu dimiliki oleh perusahaan yang berbasis di China. Kebetulan? Tanpaknya ini lebih dari sekedar kebetulan. Karena sangat masuk akal sebuah platform asal China melakuhkan promosi terhadap produk asal China. Tapi kenapa hanya user asal Indonesia yang sering melihat promosi merek Skintific di Tiktok?
Kematian UKM Di Depan Mata.
Dari seluruh kronologi yang ada wajar jika pihak UKM dan UMKM merasa takut. Pasalnya dari tahun ke tahun, mereka selalu survive di kakinya sendiri. Mencari solusi sendiri, menghadapi lika-liku sendiri. Tapi apakah mereka akan jadi pemenang di akhir cerita? Belum tentu. Tidak semua pengusaha bisa merekrut coaches maupun tau cara untuk survive.
Demi menghadapi kecanggihan dan segala gempuran lain, pihak UKM dan UMKM harus mendapatkan dukungan dari semua pihak. Kedepannya, pemangku kebijakan, masyarakat, sesama pelaku usaha dan platform harus berkolaborasi dan sevisi. Program-program suntikan dana harus segera dijalankan, merek-merek lokal harus lebih kreatif dan saling rangkul, masyarakat harus kembali menumbuhkan kecintaan pada produk lokal seperti saat pandemi menerpa kita serta para ahli harus turun tangan dan membimbing jalan UKM dan UMKM. Jika hal ini kita tidak bisa lakuhkan, sepertinya masa depan negara ini akan dipenuhi kegaduhan. Karena pada kenyataanya, kita selalu bergantung pada peran UKM dan UMKM Indonesia.
SUMBER REFRENSI
https://www.pop-star.me/blogs/penjualan-tiktok-shop-melebihi-marketplace-tokopedia-cek-faktanya
https://grahanurdian.com/statistik-tiktok-2022/
https://katadata.co.id/pingitaria/digital/5e9a55e40cb97/tik-tok-klaim-miliki-500-juta-pengguna
https://www.youtube.com/watch?v=ObkxFVYRZkM&t=461s